بِسْــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
A. Definisi Hadits
Marfu
Hadits
marfu adalah hadits yang khusus disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan,
perbuatan atau taqrir beliau; baik yang menyandarkannya sahabat, tabi’in atau
yang lain; baik sanad hadits itu bersambung atau terputus.
Berdasarkan
definisi diatas hadits marfu itu ada yang sanadnya bersambung, adapula yang
terputus. Dalam hadits marfu ini tidak dipersoalkan apakah ia memiliki sanad
dan matan yang baik atau sebaliknya. Bila sanadnya bersambung maka dapat
disifati hadits shahih atau hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan dan
keadilan perawi. Bila sanadnya terpuus hadits tersebut disifati dengn hadits
dhaif mengikuti macam-macam putusnya perawi.
B. Macam-macam
Hadits Marfu
Mengingat
bahwa unsur-unsur hadits itu dapat berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir
Nabi, maka apa yang disandarkan kepada Nabi itupun dapat diklasifikasikan
menjadi marfu qauli, marfu fi’li dan marfu taqriri. Dari ketiga macam hadits marfu
tersebut ada yang jelas –dengan mudah dikenal– rafanya, dan adapula yang tida
jelas rafanya. Yang jelas (shahih) disebut marfu hakiki, dan yang tidak
jelas (ghairu shahih) disebut marfu hukmi.
1. Marfu Qauly Hakiki
Ialah
apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi tentang sabdanya, bukan
perbuatannya atau iqrarnya, yang dikatakan dengan tegas bahwa nabi bersabda.
Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan lapazh qauliyah :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول …… كذا
“Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda ……… begini”
Contohnya :
عن ابن عمر رضى الله عنه قال: إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال:
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع و عشرين درجة
( رواه البخاري و مسلم)
“Warta dari Ibn Umar r a,
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : Shalat jama’ah itu lebih afdhal dua
puluh tujuh tingkat dari pada shalat sendirian” ( HR Bukhari dan Muslim)
2. Marfu Qauly Hukmi
Ialah
hadits marfu yang tidak tegas penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi,
melainkan dengan perantaran qarinah yang lain, bahwa apa yang disandarkan
sahabat itu berasal dari sabda nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang
menggunakan kalimat :
أمرنا بكذا ……. نهينا عن كذا
“Aku diperintah begini…., aku
dicegah begitu……”
Contohnya :
أمر بلال ان ينتفع الأذن و يوتر الإقامة ( متفق عليه )
“Bilal
r.a. diperintah menggenapknan adzan dan mengganjilkan iqamah” (HR Mutafaqqun
‘Alaih)
Pada
contoh diatas hadits tersebut dihukumkan marfu dan karenanya hadits yang
demikian itu dapat dibuat hujjah. Sebab pada hakikatnya si pemberi perintah iu
tidak lain kecuali Nabi saw.
3. Marfu
Fi’li Hakiki
Adalah
apabila pemberitaan sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan rasulullah
saw.
Contohnya
:
عن عائشة رضى الله عنها انّ رسولالله صلّى الله عليه وسلّم كان يدعوا
فى الصلاة, ويقول: (اللّهمّ إنّى أعوذبك من المأثم و المغرم) (رواه البخارى)
“Warta
dari ‘Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendo’a di waktu sembahyang, ujarnya: Ya
Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan hutang” (HR Bukhari)
4. Marfu Fi’li Hukmi
Ialah
perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau diwaktu Rasulullah
masih hidup. Apabila perbuatan sahabat itu tidak disertai penjelasan atau tidak
dijumpai suatu qarinah yang menunjukkan perbuatan itu dilaksanakan di zaman
Rasulullah, bukan dihukumkan hadits marfu melainkan dihukumkan hadits mauquf. Sebab
mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat tersebut diluar
pengetahuan Rasulullah saw.
Contohnya
:
قال جابر: كنّا نأكل لحوم الخيل على عهدى رسول الله (رواه
النسائى)
“Jabir
r.a. berkata : Konon kami makan daging Kuda diwaktu Rasulullah saw masih hidup”
(HR Nasai)
5. Marfu Taqririyah
Hakiki
Ialah
tindakan sahabat dihadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik
reaksi itu positif maupun negatif dari beliau.
Contohnya,
Seperti pengakuan Ibnu Abbas r.a:
كنّا نصلّ ركعتين بعد غروب الشمس و كان رسول الله صلى الله عليه و سلم
يرانا ولم يأمرنا ولم ينهنا
“Konon
kami bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah saw
mengetahui perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula
mencegah.”
6. Marfu
Taqririyah Hukmy
Ialah
apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat sunnatu Abi
Qasim, Sunnatu Nabiyyina atau minas Sunnati.
Contohnya,
perkataan Amru Ibnu ‘Ash r.a kepada Ummul Walad:
لا تلبسوا علين سنّة نبيّنا (رواه ابو داود)
“Jangan
kau campur-adukkan pada kami sunnah nabi kami.” (HR. Abu Dawud)
Perkataan
di atas tidak lain adalah sunnah Nabi Muhammad saw, akan tetapi kalau yang
memberitakan dengan kalimat minas sunnati dan yang sejenis dengan itu seorang
tabi’in, maka hadits yang demikian itu bukan disebut hadits marfu, tetapi
disebut hadits mauquf.