Senin, 26 November 2012

HADITS MAUQUF

0 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ ارَّحِيم
Definisi :
-       Secara bahasa : {اسم مفعول من " الوَقف " كأن الراوي وقف بالحديث عند الصحابي، ولم يتابع سرد باقي سلسلة الإسناد} : Mauquf merupakan isim maf’ul dari kata al-waqfu (berhenti), seolah-olah seorang perawi menghentikan hadits pada shahabat, dan tidak mengikutkan sisa silsilah (rantai) sanad secara berturut-turut.
-       Secara istilah : {ما أُضِيف إلى الصحابي من قول أو فعل أو تقرير} Apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dari perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Penjelasan Definisi :
أي هو ما نُسِبَ أو أُسْنِدَ إلى صحابي أو جَمْع من الصحابة سواء كان هذا المنسوب إليهم قولا أو فعلا أو تقريراً ، وسواء كان السند إليهم متصلا أو منقطعاً .
Yaitu sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan kepada shahabat atau sejumlah shahabat, sama saja apakah hal itu berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir; dan juga sama saja apakah sanad yang sampai kepada mereka itu muttashil (bersambung) ataumunqathi’ (terputus).
Contoh :
-       Mauquf pada perkataan; perkataan rawi : Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu :
حدثوا الناس بما يعرفون ، أتريدون أن يُكَذَّبَ الله ورسولُهُ
“Sampaikanlah kepada manusia menurut apa yang mereka ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan ?” .
-       Mauquf pada perbuatan; perkataan Al-Bukhari :
وأَمَّ ابنُ عباس وهو متيمم
“Ibnu ‘Abbas mengimami (shalat), dalam keadaan ia bertayamum .
-       Mauquf taqrir; seperti halnya perkataan sebagian tabi’in :
فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم يُنْكِر عَلَيَّ
”Aku telah melakukan demikian di depan salah seorang shahabat, dan beliau tidak mengingkariku sedikitpun”.
Pengunaan Lain :
Istilah mauquf kadangkala juga dipergunakan pada riwayat yang datang dari selain shahabat, akan tetapi hal itu terbatas saja. Seperti halnya dikatakan :
هذا حديث وقفه فلان على الزهري أو على عطاء  ونحو ذلك
“Hadits ini di-mauquf-kan oleh Fulan pada Az-Zuhri atau pada ‘Atha’, dan yang semisalnya.
Istilah yang Dipakai oleh Fuqahaa’ Khurasan
Para fuqahaa’ (ahli fiqh) dari daerah Khurasan menyebut hadits marfu’ sebagai khabar, dan hadits mauquf sebagai atsar. Adapun ahli hadits menamakan semuanya sebagai atsar, karena diambil dari kata {أَثَرْتُ الشَّيْءَ} ”Aku meriwayatkan sesuatu”.
Cabang-Cabang Pembahasan yang Terkait dengan Marfu’ Hukman
Terdapat gambaran mengenai hadits mauquf, baik pada lafadh maupun bentuknya. Akan tetapi penelitian cermat yang dilakukan terhadap hakikatnya (oleh para ulama hadits) menunjukkan bahwa hadits mauquf tersebut mempunyai makna hadits marfu’. Oleh karena itu, para ulama memutlakkan hadits semacam itu dengan nama marfu’ hukman (marfu’ secara hukum); yaitu bahwasannya hadits tersebut secara lafadh memang mauquf, namun secara hukum adalah marfu’.
Beberapa gambaran jenis hadits ini :
a)    Seorang shahabat yang berkata  - yang tidak diketahui bahwa hal tersebut diambil dari ahli kitab – sebuah perkataan yang tidak terdapat ruang ijtihad di dalamnya, tidak terkait dengan penjelasan bahasa atau penjelasan mengenai keterasingannya; misalnya :
1.    Khabar mengenai perkara-perkara yang telah lalu seperti awal mula penciptaan.
2.    Khabar mengenai perkara-perkara yang akan datang seperti peperangan (di akhir jaman), fitnah (di akhir jaman), atau hal-hal yang berkaitan dengan hari kiamat.
3.    Khabar mengenai tetapnya pahala atau dosa/siksa tertentu atas satu amalan, seperti perkataan : ”Barangsiapa yang mengerjakan begini maka baginya balasan begini”.
b)    Seorang shahabat yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya seperti shalat kusuf yang dilakukan oleh para shahabat yang setiap raka’atnya lebih dari dua ruku’.
c)    Seorang shahabat yang mengkhabarkan bahwasannya mereka (para shahabat) telah mengatakan atau melakukan satu perbuatan atau memandang tentang satu hal bahwa hal itu tidak mengapa. Maka ini harus dirinci :
1.    Jika disandarkan pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka yang benar hadits tersebut adalah marfu’. Seperti perkataan Jabir :
كنا نَعْزلُ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
”Bahwasannya kami melakukan ’azl pada masa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam” [4].
2.    Jika tidak disandarkan pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka hadits tersebut tetap hadits mauquf. Seperti perkataan Jabir :
كنا إذا صعدنا كبرنا، وإذا نزلنا سبحنا
”Apabila kami naik (dalam satu perjalanan) maka kami bertakbir, dan apabila kami turun maka bertasbih” .
d)    Seorang shahabat berkata : Umirnaa bikadzaa (kami diperintahkan begini), nuhiina bikadzaa (kami dilarang untuk begini), atau minas-sunnati kadzaa (termasuk sunnah adalah begini). Seperti perkataan sebagian shahabat :
أُمِرَ بلال أن يَشْفع الآذان ، ويُوْتِرَ الإقامة
Bilal diperintahkan agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat” .
Seperti perkataan Ummu ’Athiyyah :
نُهينا عن إتباع الجنائز ، ولم يُعْزَم علينا
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi (larangan tersebut) tidak disangatkan terhadap kami” .
Juga seperti perkataan Abu Qilabah dari Anas :
من السنة إذا تزوج البكر على الثيب أقام عندها سبعا
Termasuk sunnah adalah apabila engkau menikah dengan seorang gadis/perawan dibanding dengan seorang janda adalah tinggal bersama gadis tersebut selama enam hari” .
e)    Seorang rawi mengatakan dalam haditsnya ketika menyebutkan seorang shahabat dengan salah satu dari empat kata berikut : yarfa’uhuyanmiihiyablughu bihi, atauriwaayatanSeperti hadits Al-A’raj dari Abu Hurairah secara riwayat (riwaayatan) :
تقاتلون قوماً صِغارَ الأعْيُنِ
“Kalian akan memerangi satu kaum yang perawakannya kerdil” 
f)    Seorang shahabat menafsirkan sebuah ayat yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat (sababun-nuzul). Seperti perkataan Jabir :
كانت اليهود تقول: من أتي امرأته من دبرها في قُبُلِها جاء الولد أَحْوَلَ ، فأنزل الله تعالى نساؤكم حرث لكم ........ الآية
Orang-orang Yahudi berkata : ”Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakangnya pada farjinya, maka anak yang lahir nanti akan juling matanya”. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat : ” Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam.... [QS. Al-Baqarah : 223].
Apakah Hadits Mauquf dapat Dipakai Sebagai Hujjah ?
Hadits mauquf – sebagaimana yang telah diketahui – bisa shahih, hasan, atau dla’if. Akan tetapi, meskipun telah tetap keshahihannya, apakah dapat berhujjah dengannya ? Jawaban atas hal tersebut adalah bahwasannya asal dari hadits mauquf adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena hadits mauquf hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja. Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian hadits dla’if – sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal – karena yang dilakukan oleh shahabat adalah amalan sunnah. Ini jika tidak termasuk hadits mauquf yang dihukumi marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika haditsmauquf tersebut dihukumi marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadits marfu’.

[Taisiru Musthalahil-Hadits  oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan, hal. 98 – 100, Iskandariyyah, 1415 H].
Comments
0 Comments

0 komentar: