Rasulullah bersabda “Barang siapa
yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa
menyerupai diriku.” (HR Muslim 4206)
“Alangkah miskinnya seorang murid
jika gurunya hanya orang-orang hidup atau manusia biasa“.
Suatu saat Imam al-Gazali ditanya
muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam
kitabnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Lalu, al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah
mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya
kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200 hadis
dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam al-Gazali berjumpa
dengan Rasulullah. Padahal, Imam al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M hingga 505
H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa hidup antara
keduanya terpaut lima abad.
Kitab Ihya’ yang terdiri atas empat
jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari hiruk
pikuk manusia. Pengalaman lain, Ibnu ‘Arabi juga pernah ditanya muridnya
tentang kitabnya, Fushush al-Hikam. Setiap kali sang murid membaca pasal yang
sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru.
Menurutnya, kitab Fushush bagaikan
mata air yang tidak pernah kering. Ibnu ‘Arabi menjawab, kitab itu termasuk
judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu,
Rasulullah mengatakan, “Khudz hadzal kitab, Fushush al-Hikam (ambil kitab ini,
judulnya Fushush al-Hikam).”
Kitab Jami’ Karamat al-Auliya’
karangan Syekh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani, sebanyak dua jilid, mengulas
sekitar 625 tokoh/ulama yang memiliki karamah, yaitu pengalaman luar biasa
mulai dari Sahabat Nabi hingga tokoh abad ke-19.
Sayang, di dalamnya tidak dimasukkan
sejumlah orang yang dapat dikategorikan sebagai wali yang berasal dari
Indonesia. Seperti beberapa ulama yang tergabung di dalam Wali Songo. Dalam
kitab ini, Subhanallah, ternyata pengalaman batin dan spiritual hamba Allah SWT
berbeda-beda.
Umumnya mereka sudah berada di atas
maqam yang lebih tinggi atau di atas rata-rata. Ternyata alam gaib bagi setiap
orang tidak sama. Ada yang masih tebal dan ada yang sudah transparan
(mukasyafah). Bagi mereka yang sudah berada di tingkat mukasyafah, sudah bisa
berkomunikasi lintas alam.
Mereka seperti hidup di alam yang
bebas dimensi, tidak lagi terikat dengan ruang dan waktu. Mereka bisa
berkomunikasi interaktif dengan makhluk dan para penghuni alam lain, baik di
alam malakut, alam jabarut, maupun alam barzakh lainnya. Sulit mengatakan apa
yang diungkapkan dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya’ itu mitos atau bohong.
Sebab, Allah dalam sejumlah ayat
ditambah hadis-hadis Rasulullah menekankan adanya kemungkinan hamba-hamba Tuhan
yang memiliki kemampuan untuk mengakses apa yang disebut William C Chittick
sebagai The Imaginal Worlds. Menurut istilah Imam al-Ghazali, itu disebut
sebagai alam hayal atau alam mitsal, seperti istilah Ibnu ‘Arabi.
Dari sisi ini, muncul pernyataan
bahwa alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup
atau hanya manusia biasa. Bahkan, Chittick, pengagum Ibnu Arabi, menemukan
bukti-bukti dalam kita Futuhat al-Makkiyah (4 jilid) karya Ibnu Arabi
mengatakan, “The person with whom he met had lived many thousands of years
before.” (Orang yang pernah dijumpai (Ibnu Arabi) hidup ribuan tahun silam).
Singkat cerita, Ibnu Arabi pernah
menjumpai seseorang yang memperkenalkan diri telah hidup 40 tahun. Ibnu Arabi
mengatakan, bagaimana mungkin, Nabi Adam saja belum hidup ketika itu. Lalu
orang itu mengatakan, Adam yang mana, sambil mengingatkannya pada hadis Nabi
Muhammad, “Innallaha lhalaqa miata alaf Adam” (Sesungguhnya Allah telah
menciptakan 100.000 Adam). (Lihat Futuhat, jilid III, h. 459).
Orang-orang yang memiliki batin
bersih setelah menempuh suluk, mujahadah, dan riyadhah, maka sangat berpeluang
bisa menjalin komunikasi interaktif dengan para penghuni alam-alam lain.
Termasuk kemampuan berkomunikasi atau belajar dari arwah para auliya’ dan arwah
kekasih Tuhan lainnya.
Di dalam sebuah hadis disebutkan,
“Seandainya bukan karena dosa yang menutupi kalbu Bani Adam, niscaya mereka
menyaksikan malaikat di langit.” (HR Ahmad dari Abi Hurairah). Sebaliknya,
penghuni makhluk cerdas alam lain, yang diistilahkan dalam Alquran man fi
al-sama’, juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana
dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni
bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang
bersinar di langit.”
Dalam Alquran dinyatakan dalam ayat,
“Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS
Yunus/10:64). Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman
sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rasulullah menjelaskan, “Yang
dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah SWT
kepadanya.” Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang
jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di
waktu tidurnya.” (QS al-Zumar/39:42).
Dalam kita-kitab tafsir Isyari, ayat
ini mendapatkan komentar panjang bahwa di waktu tidur orang bisa mendapatkan
banyak pencerahan. Bahkan, dalam Alquran juga menunjukkan kepada kita sejumlah
syariat dibangun di atas mimpi (al-manam), seperti perintah ibadah kurban (QS
al-Shafat/37:102).
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa berkomunikasi dan sekaligus belajar kepada para penghuni alam
lain sangat dimungkinkan oleh orang-orang yang telah sampai kepada maqam
tertentu. Namun, kita perlu hati-hati bahwa sehebat apa pun ilmu dan inspirasi
yang diperoleh seseorang tetap tidak boleh menyetarakan diri dengan Nabi
Muhammad sebagai khatamun nubuwwah.
Kehati-hatian lain ialah jangan
sampai bisikan setan dianggap bisikan suci dari penghuni alam lain. Oleh karena
itu, Imam al-Gazali pernah mewanti-wanti, jika ada orang menjalani suluk tanpa
syekh atau mursyid, dikhawatirkan setan yang akan membimbingnya. Bagaimana
berguru pada para penghuni alam lain, akan dibahas dalam artikel
mendatang. (Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 25 Februari 2011)
Bagaimana
berguru kepada penghuni alam lain
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Diantara mereka ber – tajassud
kepadaku di bumi, yang lainnya ber – tajassud di udara.
Diantara mereka ber – tajassud di manapun aku berada, yang lainya ber – tajassud di langit.
Mereka mengajarku dan akupun mengajarinya. Namun keberadaanku tidak sama.
Aku tetap di dalam entitasku. Mereka tidak tetap dalam entitasnya.
Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk. Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna”.
(Ibnu Arabi, Futuhat al-Makiyah, Juz 1 h 735).
Diantara mereka ber – tajassud di manapun aku berada, yang lainya ber – tajassud di langit.
Mereka mengajarku dan akupun mengajarinya. Namun keberadaanku tidak sama.
Aku tetap di dalam entitasku. Mereka tidak tetap dalam entitasnya.
Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk. Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna”.
(Ibnu Arabi, Futuhat al-Makiyah, Juz 1 h 735).
Dalam artikel lalu digambarkan
kemungkinan orang berguru kepada alam alam lain. Sebagaimana dilakukan
orang-orang khusus yang berhasil menembus hijab atau menyingkap tabir yang juga
diisyaratkan dalam Alquran dan hadis. Ternyata tidak sedikit orang berhasil
mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam spiritual itu. Ternyata tidak
sedikit orang berhasil mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam
spiritual itu.
Contohnya, pengalaman batin Ibnu
Arabi yang diungkapkan dalam bentuk syair seperti dikutip di atas. Masalahnya.
di sini adalah mekanisme apa yang dilalui para Sufi yang berhasil menembus
batas alam spiritual tersebut?. Sebelum membahas pertanyaan ini, terlebih
dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud alam oleh para Sufi. Secara
kebahasaan, alam berasal dari akar kata ‘alima-ya’lamu, berarti mengetahui.
Dari akar kata ini terbentuk kata `alam yang artinya tanda, petunjuk, atau
bendera; dan `alamah yang bermakna ala¬mat atau sesuatu yang melalui dirinya
dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Dalam perspektif tasawuf, alam
adalah segala sesuatu selain Allah SWT (ma siwa Allah).
Alam adalah tanda yang menunjuk
kepada (adanya) Allah. Alam juga memberikan kesadaran dan pengetahuan. Alam
meliputi seluruh universalitas (kulliyyat) alam dengan segenap bentuknya secara
ijmali / undifferentiated.
Alam dalam form atau bentuk ini,
pada ilmu filsafat dikenal dengan istilah al-’aql al-awwal / the first
intellect. Dari sini, Allah sebagai al-Rahman dimanifestasikan. Di sisi
lain, alam mencakup pula hakikat seluruh partikularitas (juziyyat) secara
tafshili l differentiated yang terkandung di dalam al-’aql al-awwal / the first
intellect.
Dari sini, nama Allah sebagai
al-Rahim dimanifestasikan. Pendapat ini juga banyak diakomodasi di dalam
kitab-kitab tafsir, terutama dalam menjelaskan perbedaan konteks antara
al-Rahman dan al¬Rahim dalam ayat pertama dan ketiga dari Sarah al-Fatihah: Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang (al Rahman al-Rahim).
Orang yang menggabungkan kedua
karakter alam di atas biasa disebut manusia paripurna (insan kamil), karena
secara ijmal / undifferentiated menjadi bagian dalam martabat ruh, dan secara
tafshil/ differentiated bagian dalam martabat qalb. Insan kamil menjadi sebuah
alam universal yang merepresentasikan keseluruhan nama-nama Allah.
Ia sudah menjadi manifestasi
(madzhar) nama-nama Allah. Pembahasan lebih rinci konsep insan kamil ini akan
dilakukan dalam satu artikel tersendiri. Dalam perspektif tasawuf, alam tidak
terbatas hanya dalam dua bentuk, yaitu dengan meminjam istilah Muhammad Abduh,
‘alam syahadah dan ‘alam ghaib, tapi alam bisa tak berbatas.
Sebab mencakup pula kehadiran
Ilahiyah universal (al-hadharat al-kulliyyat / universal divine presences),
yang di antaranya ada yang lebih dekat ke alam syahadah mutlak, dan lainnya
lebih dekat ke alam gaib mutlak. Alam sering juga digunakan dalam dua konteks,
yaitu alam secara keseluruhan (semua kecuali Allah) dan alam dalam konteks
tingkatan alam, seperti ‘alam al-mulk, `alam al-mitsal, ‘alam al-malakut, dan
alam jabarut.
Masing-masing alam ini mempunyai
penghuni. Manusia bisa mengakses dan sekaligus menjadi bagian dari alam-alam
tersebut bersama dengan makhluk-makhluk spiritual lainnya seperti malaikat dan
jin. Hal itu dapat dilakukan tentu saja jika manusia itu mampu menyingkap tabir
rahasia yang selama ini menghijab dirinya.
Manusia di alam fana ini berada di
alam malakut dan dalam keadaan tertentu ia bisa mengalami transformasi
spiritual ke alam alam lain. Tentu, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau
diberikan kepadanya oleh Allah. Tingkatan-tingkatan alam lebih banyak digunakan
dalam konteks kedua, yakni tingkatan alam spiritual.
Di setiap tingkatan alam, al Haq
(Allah) selalu mengindikasikan kehadiranNya, sehingga tidak ada suatu ruang,
waktu, dan dimensi yang bebas dari cakupan Al Haq meskipun dikenal berbagai
tingkatan, pada hakikatnya tetap hanya satu kehadiran (al-hadharat), yakni
kehadiran Ilahiyyah (al hadharat al-Ilahiyyah).
Secara sederhana, tingkatan alam
yang akan menjadi objek pembahasan di sini ialah alam mulk, alam mitsal, alam
malakut, dan alam jabarut.
Untuk berguru kepada para penghuni
alam-alam tersebut, pengenalan mendalam mengenai alam-alam itu perlu dilakukan.
Selain mengenal berbagai alam, manusia sepatutnya nya mengenal dirinya sendiri
dulu secara mendalam. Setelah mengenal alam-alam spiritual dan rahasia besar
yang ada di dalam diri manusia, langkah berikutnya berupa mendekatkan diri
kepada Allah.
Diperlukan mursyid* untuk membimbing
kita dan seorang yang mulai memasuki pencarian spiritual menempuh jalan khusus,
itulah yang disebut murid atau salik.
Kemudian, para murid itu akan
menjalani berbaga ritual (riyadhah) secara konsisteni sampai mereka menembus
berbagai lapis alam dan menyingkap beragam hijab rahasia. Murid yang berhasil
menembus batas dan menyingkap tabir disebut mukasyafah, yakni prestasi
spiritual
Sumber : Republika, Dialog Jumat, 4
Maret 2011.
*/ Mursyid , suatu maqom/tingkat
awal yang berhasil dicapai orang-orang yang terpilih oleh Allah.
Mursyid adalah guru spiritual yang
mewakili Nabi Muhammad SAW, yang beliau itulah (Nabi Shallallahu alaihi
wasallam) yang mampu mengarahkan setiap manusia yang melakukan perjalanan spiritual
sehingga tetap dalam jalan yang lurus yang diridloi Allah Subhanahu wa ta’ala).