SUATU hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.” Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka.”
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Sungguh ia termasuk ahli surga.”(HR.Muslim)
Sebagai makhluk sosial, tentu semua orang tidak bisa lepas
dari interaksi dengan sesama. Siang dan malam kita pasti bertutur kata. Tak
satu pun manusia yang bisa hidup tanpa berbicara.
Berbicara merupakan media utama dari seluruh proses
interaksi sosial. Baik buruknya proses interaksi sosial salah satunya
dipengaruh oleh bagaimana kita bertutur kata. Karenanya, agar apa yang kita
ucapkan tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri, lebih-lebih membahayakan
orang lain baik di dunia maupun di akhirat, kita mesti cermat dalam berbicara.
Cermat dalam arti mengerti dengan baik bahwa kita hanya
boleh berbicara yang memiliki kandungan manfaat, ilmu, atau nasehat, serta yang
bisa menjernihkan sebuah permasalahan. Sekiranya kita tidak mengerti apa yang
harus kita ucapkan sebaiknya berpikirlah lebih dulu, sebelum memutuskan untuk
ikut berbicara.
Seringkali seseorang berbicara tanpa diawali proses berpikir
dan tidak melalui pertimbangan sebelumnya. Tindakan seperti itu berpotensi
mengundang masalah baru yang boleh jadi akan berlarut-larut, sehingga
memperkeruh keadaan dan mengancam tali ukhuwah dengan sesama Muslim. Apabila
hal ini terjadi maka tidak ada tempat bagi orang yang berbicara kecuali neraka.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknyaa lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari Muslim).
Pepatah mengatakan, “Mulutmu harimaumu.” Oleh
karena itu, kecermatan dalam berbicara mutlak harus kita upayakan. Kita perlu
tahu secara pasti, kapan kita bicara, apa yang harus kita bicarakan, dan paling
penting adalah manfaat apa yang akan diperoleh diri sendiri, yang mendengar dan
orang lain, tatkala kita berbicara.
Dalam situasi kita tidak mengerti apa yang harus kita
ucapkan, tidak berbicara adalah langkah yang bijaksana. Maka pantas jika
kemudian Lukman al-Hakim menasehati putranya dengan mengatakan bahwa, “Diam itu
hikmat tapi sedikit sekali orang yang melakukannya.”
Akan tetapi, manakala kita mengerti secara mendalam dan
komprehensif akan hakikat sesuatu dan penjelasan akan hakikat sesuatu itu
sangat dibutuhkan, maka berbicara dalam konteks ini adalah wajib. Sebagaimana
telah ditegaskan oleh rasulullah saw dalam sebuah hadisnya.
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari).
Imam Nawawi menjabarkan bahwa hadis di atas adalah hadis
shohih, yang menjelaskan bahwa kita tidak pantas berbicara kecuali berbicara
yang baik dan jelas-jelas mengandung maslahat. Bila diragukan kemaslahatannya,
maka diam adalah langkah yang utama untuk dilakukan.
Jadi berbicara menduduki posisi yang sangat strategis.
Dengan iman dan ilmu, pembicaraan yang kita lakukan dapat mengundang berkah dan
keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, berbicara terus-menerus tanpa ilmu, tanpa
berpikir panjang akan mengantarkan kita pada kemurkaan-Nya.
Termasuk tatkala kita ingin menghibur orang lain dengan
perkataan lucu. Sekalipun dalam maksud bercanda, berbicara yang lucu tetap
tidak boleh mengandung unsur dusta atau sia-sia belaka.
Rasulullah sangat melarang umatnya berbicara, berbohong
meski dengan maksud agar orang lain tertawa karena mendengarkannya.
"Celaka bagi orang yang berkata kemudian berbohong supaya orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka baginya." (HR. Abu Dawud)
Sepanjang hari, siang dan malam setiap orang pasti
berbicara. Dan, esok hari pun kita akan berbicara dan terus berbicara. Oleh
karena itu hemat dan cermatlah dalam berbicara. Jangan sekali-kali membuka
celah untuk berkata bohong. Sebab pintu-pintu kebohongan lainnya akan terbuka
demi untuk menutupi kebohongan pertama.
Maka dari itu tidaklah berlebihan jika perkataan yang baik itu memiliki derajat
yang lebih utama daripada sedekah yang diungkit-ungkit hingga menyakiti
perasaan yang menerimanya.
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Baqarah: 263).
Kini, marilah kita jaga lisan kita dari kata-kata yang tak
berguna.*/Imam Nawawi