Asbabun Nuzul
Dalam ash-Shahihain dan sirah
nabawiyah diceritakan bahwa dalam masa fatrah wahyu, Rasulullah
berada dalam kebimbangan dan bertanya-tanya tentang peristiwa dahsyat yang
dialaminya di Gua Hira'. Beliau sendiri masih sering mendatangi gua tersebut
dan melanjutkan kebiasaan tahannuts-nya.
Hingga, suatu saat, beliau berjalan di
suatu tanah kosong di depan gua tersebut, dan sebuah suara memanggilnya. Beliau
menengok ke kiri, mencari-cari siapa pemilik suara itu, namun tidak ada siapa
pun. Beliau menengok ke kanan, dan kembali tidak ada siapapun yang terlihat
disana. Suara yang memanggil nama beliau bergema kembali, dan kali ini beliau
menengadahkan wajahnya ke langit. Seketika itu juga beliau jatuh berlutut,
sangat terkejut, sehingga tubuhnya sampai ambruk ke tanah. Di lihatnya malaikat
yang pernah mendatanginya di Gua Hira' tengah duduk di kursi, di antara langit
dan bumi.
Dalam
ketakutan yang sangat beliau bergegas kembali ke rumah. Badan beliau menggigil,
panas dingin, seperti lazimnya seseorang yang menyaksikan sebuah peristiwa
dahsyat yang mengguncang jiwa. Beliau meminta diselimuti dan disiram dengan air
dingin. Saat itulah Allah mewahyukan, "ya ayyuhal muddatstsir …",
dst.
Uraian
al-Muddatsir 1-5
Menilik
riwayat asbabun nuzul diatas, yang dimaksud dengan
"berselimut" dalam ayat 1 adalah makna hakikinya, yakni menutupi
badan dengan mantel atau selimut untuk menghangatkan diri. Dalam bahasa Arab,
salah satu cara memanggil yang mengekspresikan kelembutan dan rasa sayang
adalah memanggil seseorang menurut kondisi riil yang ada pada orang yang
dipanggil tersebut. Disini, Rasulullah dipanggil dengan lembut, sesuai keadaan
beliau yang sedang berselimut dan menggigil ketakutan.
Ketakutan
yang dialami Rasulullah adalah sesuatu yang alamiah, tidak merusak kemuliaan
beliau sebagai manusia pilihan Allah. Ini adalah ketakutan seorang manusia
biasa yang untuk kedua kalinya menyaksikan makhluk yang sangat luar biasa
(malaikat Jibril). Peristiwa dan reaksi serupa juga ditunjukkan oleh Musa 'alaihis
salam, ketika untuk pertama kalinya diperintahkan oleh Allah melemparkan
tongkatnya. Saat tongkat kayu yang telah bertahun-tahun beliau pakai itu
berubah menjadi ular yang gesit, spontan beliau lari dengan tanpa menoleh (QS
al-Qashash [28] : 31).
Kata qum
berakar dari qawama atau qaama, yang artinya melaksanakan
sesuatu secara sempurna. Perintah shalat di dalam al-Qur'an selalu dinyatakan
dengan derivasi (bentuk turunan) dari kata dasar ini. Dalam al-Qur'an, seorang
laki-laki (suami) disebut sebagai qawwam bagi para wanita (istri),
yang maknanya adalah kewajiban untuk menegakkan urusan rumah tangganya secara
sempurna, dalam segala aspeknya (QS an-Nisa' [03] : 34). Dalam ayat 2 surah
al-Muddatsir ini, Rasulullah diperintahkan untuk bangkit memberi peringatan (indzar)
secara sempurna, sebaik-baiknya. Makna dasar kata qum tersebut sudah
cukup menjelaskan apa isi kandungan perintahnya.
Memberi
peringatan (indzar), dalam penggunaan ayat-ayat al-Qur'an, biasanya
dikaitkan dengan kedahsyatan peristiwa akhirat, khususnya masalah siksa yang
pedih bagi mereka yang lalai. Hal ini didukung oleh riwayat sirah nabawiyah,
bahwa berita pertama yang beliau ungkapkan kepada kaumnya, sesaat setelah
turunnya perintah dakwah jahriyah, adalah peringatan tentang akhirat
dan segala yang harus dipertanggungjawabkan oleh manusia di dalamnya.
Maka,
secara pribadi, adalah penting bagi kita untuk senantiasa mempertebal keyakinan
tentang akhirat. Dan, pintu pertama untuk memasukinya adalah kematian.
Rasulullah sering menasihati kita untuk tidak melupakan kematian; agar tidak
lalai dan lemah dalam beramal shalih; agar tidak berlarut-larut dalam dosa dan
kemungkaran. Umat juga harus diberi keyakinan yang benar dan lurus tentang
akhirat ini. Generasi salaf dari umat ini meraih ridha Allah dengan meyakini
kebenaran akhirat, mewaspadai kematian, menyiapkan bekal lewat amal shalih,
bertaubat, menjauhi dosa, dst. Tidak mungkin ada keikhlasan dan jihad jika umat
tidak meyakini akhirat. Mendustakan akhirat, atau kelemahan akidah terhadap
rukun iman ke-5 ini, akan membelokkan manusia ke jalan iblis, berupa dunia dan
segala pesta-poranya. Na'udzu billah.
Ayat ini
memberikan suatu pengarahan yang jelas, bahwa hanya Allah yang layak
dibesarkan. Dengan kata lain, semua selain Allah tidak layak untuk
diagung-agungkan. Kata rabb, sebagai maf'ul bih (obyek) dalam
ayat ini didahulukan daripada fi'il (verba), yang mengandung
pengertian bahwa hanya Dia saja yang berhak mendapatkan apa yang disebutkan
dalam fi'il setelahnya. Bentuk serupa dapat ditemukan dalam surah
al-Fatihah, iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu kami
mengabdi, hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan). Jika kita ikuti pola
penerjemahannya, maka ayat 3 surah al-Muddatsir ini akan berbunyi, "dan
hanya Rabb-mu yang harus engkau agungkan."
Membesarkan
dan mengagungkan Allah tidak hanya menjadi sikap lahir, dalam bentuk ucapan dan
perbuatan, namun juga merupakan sikap batin. Dalam praktik, misalnya jika harus
ada perbenturan antara kehendak Allah (baca : syari'at) dengan kehendak
selain-Nya, maka pasti kehendak-Nya jua yang harus dimenangkan dan didahulukan.
Secara lughawi,
tsiyab adalah jama' dari tsaub, yang mempunai 7
makna majaz (kiasan) : hati, jiwa, usaha, badan, akhlaq, keluarga, dan
istri. Sedang arti hakikinya adalah pakaian. Dalam al-Qur'an, kata ini tidak
dipergunakan kecuali dalam makna hakiki, yakni pakaian yang menutupi badan
secara fisik. Untuk pakaian dalam arti majaz, al-Qur'an memakai kata
lain, yakni libas, yang berkenaan dengan ikatan suami-istri.
Dari sisi
ini, membiarkan tsiyab dalam makna hakikinya justru memberikan
keleluasaan untuk mencakup makna-makna majazi-nya. Pakaian, dalam
banyak budaya di dunia, adalah simbol jiwa dan kehormatan. Para bangsawan
menampakkan diri dengan memakai pakaian yang mencirikan kedudukan mereka di tengah-tengah
kaumnya. Imam Abu Hanifah menganjurkan para ulama' memperhatikan pakaian yang
dikenakannya sedemikian rupa, agar ilmu dan ulama' tidak diremehkan. Rasulullah
sendiri sangat gemar mengenakan pakaian yang putih bersih. Dan, bagi kita,
anjuran ayat ini sangat jelas, bahwa penting untuk menjaga tsiyab
kita, baik dalam pengertian hakiki maupun majaz.
Jika dalam
ayat 3 ditekankan pembenahan sikap batin (wa rabbaka fa kabbir), maka
dalam ayat 4 ini ada perhatian khusus dari aspek lahiriah (wa tsiyabaka fa
thahhir). Penampilan yang baik adalah bagian dari dakwah. Rasulullah
memang sangat tidak menyukai kemewahan, apalagi gaya berdandan yang
mencerminkan kesombongan dan riya'. Namun, beliau membenci orang yang
tidak mengurus dirinya, sehingga berbau dan rambutnya kusut-masai. Menurut
'Aisyah, hal pertama yang dilakukan Rasulullah saat memasuki rumah adalah
bersiwak (membersihkan gigi). Beliau juga melarang siapa saja memasuki masjid
jika ia baru makan bawang. Beliau juga memerintahkan para Sahabat untuk mandi
keramas, bercukur, mengenakan wewangian, memilih pakaian terbaik, pada saat
hendak menunaikan shalat Jum'at atau dua hari raya.
Sebagian qira'at
membaca ar-rujza dengan ra' di-kasrah, yaitu ar-rijza.
Kata pertama berarti berhala, sedang yang kedua artinya dosa. Lebih jauh, ada
yang mengganti za' dalam kata ini dengan sin, sehingga
berbunyi ar-rijsa. Kata-kata ini juga memiliki makna siksa. Dengan
demikian, lengkaplah pengertian kata ini : dosa, berhala, siksa.
Sebagian
kata dalam bahasa Arab yang memakai sin memang bisa diganti za',
bahkan shad. Misalnya, kata shiraath (dengan shad)
dalam surah al-Fatihah bisa dibaca ziraath (dengan za') atau siraath
(dengan sin). Maknanya tidak berbeda.
Sebelum
memahami makna ayat ini, kita harus meneliti apa arti fahjur. Akar
kata ini adalah hajara, yang berarti berpaling, menjauh, tidak
mengajak bicara, dan menyingkir. Ada indikasi kebencian dan ketidaksukaan di
dalamnya. Hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para Sahabat adalah tindakan
yang dilandasi perasaan benci dan tidak suka kepada kezhaliman maupun
kemusyrikan yang mereka dapati di Makkah.
Jadi, ayat
ini memberikan sebuah pesan yang tegas kepada kita : tinggalkan, jauhi,
berpalinglah, menyingkirlah dari segala bentuk dosa, berhala dan perbuatan yang
mendatangkan siksa Allah, karena kebencian dan kesadaran akan hakikatnya. Ini
terkait erat dengan akidah al-wala' wal bara' (loyalitas dan
anti-loyalitas). Mencintai atau membenci sesuatu hanya karena Allah, yakni
karena kita mengetahui bahwa Allah tidak menyukai dan melarang kita
mendekatinya.
Wallahu 'alam bish-shawab.